KTI SKRIPSI KEBIDANAN KEPERAWATAN KESMAS KEDOKTERAN

Kumpulan KTI SKRIPSI Kebidanan Keperawatan Kesmas Kedokteran ini bertujuan untuk membantu para mahasiswa/i kebidanan keperawatan kesehatan masyarakat dan Kedokteran dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah dan Skripsi sebagai salah satu syarat dalam tugas akhir pendidikan. Kumpulan KTI Skripsi ini akan terus kami tambah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan anda dalam mendapatkan contoh KTI Skripsi, jadi anda tidak perlu lagi membuang waktu dan biaya dalam mencari KTI yang anda inginkan.

Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Kanker Serviks

Selasa, 10 Juli 2012

BAB 1
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Kanker serviks adalah jenis kanker yang biasanya tumbuh lambat pada wanita dan mempengaruhi mulut rahim, bagian yang menyambung antara rahim dan vagina. Kanker serviks dapat berasal dari leher rahim ataupun dari mulut rahim, kanker ini tumbuh dan berkembang dari serviks yang dapat menembus keluar dari serviks sehingga tumbuh diluar serviks bahkan dapat tumbuh terus sampai dinding panggul (Andrijono, 2005). Oleh karena itu kanker serviks merupakan momok yang menakutkan bagi kaum perempuan di Indonesia karena selain belum ada obatnya, kanker jenis ini masih menjadi pembunuh nomor satu perempuan pengidap kanker tersebut. Kanker serviks hingga sekarang belum ada obatnya dan sangat ditakuti kaum perempuan tapi hal ini bisa dihindari dengan menerapkan pola hidup bersih dan sehat (Pramono, 2006)
Di antara tumor ganas ginekologi, keganasan kanker mulut rahim atau karsinoma serviks uteri menduduki urutan pertama di negara sedang berkembang termasuk di Indonesia sebesar 369,1 %. Berbeda dengan negara maju karsinoma serviks uteri berada pada urutan ke-5, ini disebabkan karena adanya program test Pap Smear secara periodik dalam upaya deteksi karsinoma serviks uteri (Tambunan, 1995). Selama kurun waktu 5 tahun yaitu tahun 1975-1979 kasus Ca Serviks ditemukan di RSUDGM/ RSUDP Sardjito sebanyak 179 di antara 263 kasus (68,1%). Umur penderitanya antara 30-60 tahun, terbanyak antara usia 45-50 tahun (Wiknjosastro, 2007). Berdasarkan hasil studi pendahuluan tanggal 23 Februari 2009, dari data inap di Ruang Kandungan RSUD yaitu pada tahun 2008 ditemukan kasus kanker serviks sebanyak 622 pasien dari 1382 pasien, yang berarti sekitar 45% dari seluruh pasien dan mortalitas pada pasien kanker serviks sebesar 4,8%.
Penderita kanker serviks umumnya datang ke dokter kebidanan dan kandungan sudah terlambat sehinnga pengobatan yang bisa diusahakan hanya perawatan paliatif yang masih bisa dilakukan untuk tujuan peningkatan kualitas hidupnya. Banyak hal yang menyebabkan penderita datang terlambat antara lain kurangnya pengertian akan penyakit kanker pada umumnya, khususnya kanker serviks, pendidikan dan sosial ekonomi yang rendah. Hal ini yang menyebabkan angka kematian dengan kasus kanker serviks cukup tinggi.
Sebab langsung dari kanker serviks belum diketahui. Ada bukti kuat kejadiannya mempunyai hubungan erat dengan sejumlah faktor ekstrinsik di antaranya yang paling jarang ditemukan pada perawan, insidensi lebih tinggi pada mereka yang kawin daripada yang tidak kawin, terutama pada gadis yang koitus pertama (coitarche) dialami pada usia amat muda (<16 tahun), insidensi meningkat dengan tingginya paritas, aktivitas seksual yang sering berganti-ganti pasangan, jarang dijumpai pada masyarakat yang suaminya disunat (sirkumsisi), sering ditemukan pada wanita yang mengalami infeksi virus HPV (Human Papilloman Virus) tipe 18 atau 16, kebiasaan merokok, serta kebersihan genetalia yang kurang (Sastrawinata, 1981). Kebersihan genetalia yang kurang dapat menimbulkan terjadinya infeksi, karena keadaan yang kotor merupakan tempat berkembang biaknya kuman. Menjaga kebersihan genital agar tetap bersih dan segar adalah perlindungan terbaik terhadap infeksi alat kandungan. Fluor albus merupakan gejala terjadinya infeksi alat kandungan. Jika infeksi alat kandungan semakin lama semakin dibiarkan dan tidak ada tindakan pengobatan maka akan dapat mengakibatkan terjadinya pertumbuhan sel yang normal menjadi abnormal dan cenderung menginfiltrasi jaringan di sekitarnya sehingga dapat menyebabkan kanker serviks yang juga ditandai dengan adanya fluor albus yang tidak gatal dan terkadang bercampur darah dan berbau. Dengan adanya peranan dari petugas kesehatan khususnya bidan diharapkan dapat menurunkan angka kejadian kanker serviks pada wanita yaitu dengan melakukan upaya terus menerus dalam memberikan KIE tentang pencegahan penyakit antara lain dengan membiasakan hidup sehat, makan makanan yang bergizi, menghindari kebiasaan merokok, tidak berganti-ganti pasangan seksual dan tidak melakukan hubungan seksual pada usia muda, melakukan pemeriksaan Pap’s Smear setiap enam bulan sejak melakukan hubungan seksual pertama kali serta selalu menjaga kebersihan genetalia dengan benar (Tiara, 2003). Untuk itulah diperlukan upaya untuk meningkatkan teknik vulva hygiene wanita secara benar. Dari latar belakang yang telah dijelaskan maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui hubungan antara teknik vulva hygiene wanita dengan kejadian kanker serviks sehingga dapat diperkirakan langkah-langkah perbaikan untuk menurunkan angka kejadian kanker serviks



Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.238

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD)

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral yang tak terpisahkan yang diupayakan oleh pemerintah dari pembangunan nasional yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat yang setinggi-tinginya bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Keberhasilan pembangunan kesehatan di pengaruhi oleh tersedianya sumber daya manusia yang sehat, terampil dan ahli serta memiliki perencanaan kesehatan dan pembiayaan terpadu dengan justifikasi kuat dan logis yang di dukung data dan informasi Epidemiologi yang valid (Depkes RI, 2006)
Masalah Kesehatan dunia semakin bertambah kompleks dengan munculnya berbagai macam penyakit menular. Sebagian dari penyakit tersebut memang bersifat global, tidak mengenal batas negara. Sebagian lagi telah sering berjangkit tetapi polanya berubah serta jumlah kasusnya semakin bertambah, seperti SARS (Severe Acute Respiratory Syndrome), Flu burung (Afian Influenza) dan Demam Berdarah Dengue (DBD). (Depkes RI, 2006).
Bertambahnya jumlah penduduk dan jumlah pemukiman yang tidak memenuhi syarat kesehatan sangat mempercepat terjadinya penularan penyakit dari orang ke orang. Faktor pertumbuhan penduduk dan mobilitas penduduk antar daerah juga mempengaruhi perubahan gambaran epidemiologis serta virulensi dari penyakit menular tertentu seperti penyakit demam berdarah dengue. (Chin, 2000)
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit febril akut ditemukan pertama kali terjadi pada tahun 1780-an secara bersamaan di Asia, Afrika, dan Amerika Utara. Penyakit ini kemudian dikenali dan dinamai pada tahun 1779. Wabah besar global dimulai di Asia Tenggara pada Tahun 1950-an dan hingga tahun 1975 demam berdarah ini telah menjadi penyebab kematian utama diantaranya yang terjadi pada anak-anak di daerah tersebut. (Depkes, 2006)..
Menurut WHO (2004) dalam Depkes (2005) menyebutkan bahwa penyakit DBD telah endemis lebih dari 100 negara di Afrika, Amerika, Asia Tenggara, dan di kepulauan Samudera Pasifik. Sebelum tahun 1970 hanya sembilan negara yang mengalami epidemi DBD namun terjadi peningkatan pada tahun berikutnya. Terdapat 2500 juta penduduk atau 2/5 dari penduduk dunia mengalami risiko untuk terserang DBD. WHO memperkirakan ada 50.000.000 kasus DBD yang terjadi setiap tahunnya.
Kasus Dengue yang dilaporkan di Amerika pada tahun 2001 terdapat lebih dari 609.000 kasus dimana 15.000 kasus adalah DBD. Kasus DBD di Indonesia menempati urutan kedua tertinggi di dunia setelah Thailand. Hal itu disebabkan populasi yang besar, mobilitas penduduk yang tinggi dan 90 % wilayah di -Indonesia mempunyai kasus DBD (Depkes, 2005)
Di Indonesia pada tahun 1968 dilaporkan ada 58 kasus dan meninggal sebanyak 28 orang atau CFR 41,3 % dan pada tahun 1988 meningkat menjadi 47.573 kasus dengan Insiden Rate 27,98 per 100.000 penduduk dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 3,2% (Chain, 2000).
Kasus DBD tahun 2004 secara nasional adalah 79.482 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 957 penderita (Case Fatality Rate sebesar 1,2 %) dan incidence rate sebesar 37,01 per 10.000 penduduk, maka jumlah kasus tahun ini lebih besar di bandingkan tahun 2003 yaitu 52.566 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 788 kasus, (Case Fatality Rate sebesar 1,5 %) dan incidence rate sebesar 24,34 per 10.000 penduduk (Depkes RI, 2006).
Berikut ini gambaran fluktuasi kasus Demam Berdarah Dengue yang terjadi di Provinsi dalam tujuh tahun terakhir. (Dikes Provinsi, 2007)
Grafik 1.1 Kasus penyakit demam berdarah di Provinsi . (sumber data Dinas Kesehatan Provinsi tahun 2007)
Sejak Kota menjadi menjadi Ibukota Provinsi pada tahun 2001 arus mobilisasi penduduk di Kota semakin meningkat, dan pada lima tahun terakhir ini Kota sering dilanda musibah banjir yang terjadi setiap tahun. Keadaan ini merupakan salah satu faktor pencetus meningkatnya kasus demam berdarah di Kota .
Berdasarkan jumlah kasus yang ada dapat di gambarkan bahwa sebelumnya Kota tidak pernah di temukan kasus demam berdarah, maka pada tahun 2001 telah di temukan 8 penderita demam berdarah, kemudian pada tahun 2002 di temukan 2 penderita demam berdarah, pada tahun 2003 ditemukan lagi 20 penderita demam berdarah dengan 2 kematian, tahun 2004 ditemukan 2 penderita demam berdarah, tahun 2005 terjadi lonjakan kasus dengan 184 penderita dengan jumlah kematian 5 orang, tahun 2006 ditemukan 133 penderita (IR 89,26/100.000 penduduk), jumlah kematian 2 orang untuk Case Fatality Rate (CFR 2%), dan angka bebas jentik (House Indeks 86%), tahun 2007 jumlah kasus 124 dengan 3 kematian, tahun 2008 jumlah kasus 99 dengan 3 kematian dan tahun jumlah kasus 86 dengan 1 kematian. Untuk Kota stratifikasi wilayah berstatus daerah endemis (Dikes Kota , ).
Tabel 1.1
Jumlah Kasus, Kematian, IR dan CFR, Kasus Demam Berdarah
Di Kota Tahun 2001 S/D
No Tahun Jumlah
penduduk Jumlah
kasus Jumlah
kematian IR
(100.000) CFR
1 2001 133,743 8 0 6 0
2 2002 134,994 2 0 1,48 0
3 2003 135,358 20 2 15 0,1
4 2004 138.954 2 0 1,44 0
5 2005 142.432 184 5 129,18 3
6 2006 148.996 133 2 89,26 2
7 2007 151.067 124 3 82,08 2,41
8 2008 161.530 99 3 61,28 3
9. 2009 174.382 86 1 57.34 1.16
10. 2010 161.530 99 3 61,28 3
Sumber : Dikes Kota, 2010
Berdasarkan data yang ada, perkembangan penyakit Demam Berdarah Dengue di Kota terlihat masih tinggi, di bandingkan dengan target nasional Insiden Rate (IR) 20/100.000, Case Fatality Rate (CFR) 1%, dan House Indeks >95%. Keadaan ini dapat disebabkan oleh masih lemahnya manajemen program penyakit DBD termasuk rendahnya peran serta masyarakat Kota dalam mencegah dan memberantas penyakit DBD. Sedangkan maksud dari peran serta masyarakat yang masih rendah adalah seperti belum terbentuknya Pokjanal DBD di Kota , rumah tangga yang Berperilaku Hidup Bersih Dan Sehat (PHBS) yang masih rendah (42%), kegiatan pemberantasan sarang nyamuk (PSN) oleh masyarakat yang tidak kontinyu, Masyarakat yang menempati rumah sehat dan lingkungan sehat yang masih rendah (43%). Masyarakat yang memiliki tempat sampah (52%). (Riskesdas, 2008).
Wilayah Puskesmas dengan jumlah penduduk pada tahun sebesar 36.165 orang, yang tersebar di 10 kelurahan berdasarkan stratifikasi wilayah untuk penyakit DBD, ada 3 kelurahan yang masuk kategori wilayah endemis yaitu kelurahan yang setiap tahunnya mempunyai kasus DBD yang meliputi kelurahan , Limba U1 dan Limba U2. 6 kelurahan termasuk dalam kategori wilayah yang sporadik artinya kelurahan yang sewaktu-waktu dan tidak setiap tahun ada kasus DBD meliputi kelurahan Donggala,Tenda, Pohe, Biawao, Biawu dan siendeng. Kelurahan Tanjung Kramat merupakan kelurahan yang kategori wilayah bebas penyakit DBD.
Data kasus DBD di wilayah puskesmas dalam kurun waktu 3 tahun terakhir untuk tahun 2007 jumlah kasus sebanyak 39, tahun 2008 sebanyak 17 kasus DBD dan tahun sebanyak 24 kasus. Dari data yang ada menyebutkan bahwa wilayah puskesmas limba merupakan salah satu puskesmas dengan penyumbang kasus DBD tertinggi diantara wilayah puskesmas lainnya. (Puskesmas Kota , ).
Hasil penelitian Departeman Kesehatan RI (2002) bahwa persoalan yang banyak ditemukan menyangkut kesadaran dan pengetahuan masyarakat tentang penyakit DBD yang relatif masih rendah dan belum merata. Para pelaksana program pemberantasan penyakit DBD ini masih belum bisa menyelesaikan tugasnya secara baik. Dalam penanggulangan maupun pencegahan penyakit DBD pada suatu kelompok masyarakat maka hal yang penting untuk dilakukan adalah dengan mengetahui faktor-faktor risiko atau faktor pendukung terjadinya penyakit DBD. Dengan mengetahui faktor-faktor risiko penyebab kejadian penyakit DBD pada masyarakat, merupakan salah satu langkah awal di dalam program pengendalian dan pemberantasan penyakit DBD yang ada di masyarakat. Pengendalian dan pemberantasan penyakit DBD berbasis masyarakat telah meningkatkan jumlah penderita yang ditemukan dan diperiksa serta lebih mendekatkan pelayanan pengobatan kepada penderita yang ditemukan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan perilaku terhadap kejadian penyakit DBD di wilayah Puskesmas Kota Tahun ?
2. Apakah ada hubungan tingkat pendidikan terhadap kejadian penyakit DBD di wilayah Puskesmas Kota Tahun ?
3. Apakah ada hubungan lingkungan rumah terhadap kejadian penyakit DBD di wilayah Puskesmas Kota Tahun ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit DBD di wilayah Puskesmas Kota Tahun .
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan perilaku dengan kejadian penyakit DBD di wilayah Puskesmas Kota .
b. Untuk mengetahui hubungan tingkat pendidikan dengan kejadian penyakit DBD di wilayah Puskesmas Kota .
c. Untuk mengetahui hubungan lingkungan rumah dengan kejadian penyakit DBD di wilayah Puskesmas Kota .

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah :
1. Manfaat Ilmiah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan ilmiah dan bahan bacaan bagi masyarakat dan peneliti yang ingin melanjutkan penelitian ini tentang Penyakit DBD di Kota khususnya di wilayah kerja puskesmas .
2. Manfaat Institusi
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan bagi pengambil keputusan untuk perbaikan program pencegahan dan penanggulangan penyakit Demem Berdarah Dengue di Kota pada umumnya dan khususnya di wilayah kerja Puskesmas .
3. Manfaat Praktis
Bagi peneliti untuk menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman berharga dalam pendidikan khususnya tentang penyakit Demem Berdarah Dengue di wilayah kerja Puskesmas .


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.237

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Di Poliklinik Lembaga Pemasyarakatan

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Penyakit hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah yang memberi gejala yang berlanjut untuk suatu target organ, seperti strok untuk otak, penyakit jantung koroner untuk pembuluh darah jantung dan untuk otot jantung. Penyakit ini telah menjadi masalah utama dalam kesehatan masyarakat yang ada di Indonesia maupun di beberapa negara yang ada di dunia. Diperkirakan sekitar 80 % kenaikan kasus hipertensi terutama di negara berkembang tahun 2015 dari sejumlah 639 juta kasus di tahun 2000, di perkirakan menjadi 1,15 milyar kasus di tahun 2015. Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi saat ini dan pertambahan penduduk saat ini. ( Anonim,2007 ).
Meningkatnya prevalensi penyakit kardiovaskuler setiap tahun menjadi masalah utama di negara berkembang dan negara maju. Berdasarkan data Global Burden of Disease (GBD) tahun 2000, 50% dari penyakit kardiovaskuler disebabkan oleh hipertensi. Berdasarkan Data Lancet, jumlah penderita hipertensi di seluruh dunia terus meningkat. Di India, misalnya, mencapai 60,4 juta orang pada 2002 dan diperkirakan 107,3 juta orang pada 2025. Di China, 98,5 juta orang dan bakal jadi 151,7 juta orang pada 2025. Di bagian lain di Asia, tercatat 38,4 juta penderita hipertensi pada 2000 dan diprediksi jadi 67,4 juta orang pada 2025. Di Indonesia, mencapai 17-21% dari populasi penduduk dan kebanyakan tidak terdeteksi. ( Anonim , 2008 ).
Menurut Adnil Basha 2004 berpendapat bahwa Hipertensi merupakan salah satu penyakit yang mengakibatkan angka kesakitan yang dimana suatu keadaan seseorang mengalami peningkatan tekanan darah di atas normal yang mengakibatkan angka kesakitan atau morbiditas dan angka kematian atau mortalitas.
Menurut WHO Kutipan lanny sustrani,2004 menjelaskan bahwa batas normal tekanan darah adalah 120–140 mmHg tekanan sistolik dan 80 – 90 mmHg tekanan diastolik. Seseorang dinyatakan mengidap hipertensi bila tekanan darahnya > 140/90 mmHg, Sedangkan menurut JNC VII 2003 tekanan darah pada orang dewasa dapat diklasifikasikan menderita hipertensi stadium I apabila tekanan sistoliknya 140 – 159 mmHg dan tekanan diastoliknya 90 – 99 mmHg, Hipertensi Stadium II apabila Tekanan sistoliknya lebih dari 160 mmHg dan diastoliknya lebih dari 100 mmhg sedangkan hipertensi Stadium III apabila Tekanan sistoliknya lebih dari 180 mmHg dan Tekanan diastoliknya lebih dari 116 mmHg .
Banyak faktor yang berperan untuk terjadinya hipertensi meliputi faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan (mayor) dan faktor risiko yang dapat dikendalikan (minor). Faktor risiko yang tidak dapat dikendalikan (mayor) seperti keturunan, jenis kelamin, ras dan umur. Sedangkan faktor risiko yang dapat dikendalikan (minor) yaitu olahraga, makanan (kebiasaan makan garam), alkohol, stres, kelebihan berat badan (obesitas), kehamilan dan penggunaan pil kontrasepsi (Asep Pajario, 2002).
Secara epidemiologi Hipertensi diperkirakan menjadi penyebab kematian sekitar 7,1 juta orang di seluruh dunia atau sekitar 13 % dari total kematian.Di Indonesia terdapat beban ganda dari prevalensi penyakit hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya dengan penyakit infeksi dan malnutrisi. Prevalensi hipertensi yang tertinggi adalah pada wanita (25%) dan pria (24%). Rata-rata tekanan darah sistole 127,33 mmHg pada pria indonesia dan 124,13 mmHg pada wanita indonesia. Tekanan diastole 78,10 mmHg pada pria dan 78,56 mmHg pada wanita. ( Anonim,2008 ).
Penyakit hipertensi terus mengalami kenaikan insiden dan prevalensi, berkaitan erat dengan perubahan pola makan, penurunan aktivitas fisik, kenaikan kejadian stres dan lain-lain. Prevalensi hipertensi di seluruh dunia, diperkirakan sekitar 15-20%. Hipertensi lebih banyak menyerang pada usia setengah baya pada golongan umur 55-64 tahun.( Anonim,2007 ).
Berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001, kematian akibat penyakit jantung dan pembuluh darah di Indonesia sebesar 26,3%. Sedangkan data kematian di rumah sakit tahun 2005 sebesar 16,7%. Faktor resiko utama penyakit jantung dan pembuluh darah adalah hipetensi, di samping hiperkolesterollemia dan diabetes melitus.
Penelitian yang dilakukan oleh Direktorat Kanwil Hukum Dan Ham indonesia bekerjasama dengan Direktorat keperawatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2008 bahwa jumlah hipertensi dilembaga pemasyarakatan sebanyak 24,5 % sedangkan data kematian dipoliklinik lembaga pemasyarakatan di indonesia 12,3 % (Anonim, 1992).
Pada Profil dinas Kesehatan Propinsi Hipertensi merupakan penyakit terbanyak dan menempati urutan ke 5 dari 10 penyakit lainnya, adapun pada tahun 2008 sebanyak 2156 Kasus dari 932.342 jiwa dengan Prevalensi 13,5 % sedangkan tahun 2009 berjumlah 2916 kasus dari 1.143.445 jiwa atau prevalensi penderita sebanyak 18,9 %.
Berdasarkan data di Poliklinik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Dari Tahun 2008 sejumlah 45 penderita hipertensi dengan jumlah warga binaan 350 jiwa dengan proporsi sebanyak 12,8 % Sedangkan Tahun 2009 sebanyak 85 Penderita hipertensi dari jumlah warga binaan 412 jiwa dengan proporsinya sebanyak 20.6 % ( Data poliklinik LAPAS , 2009).
Berdasarkan data tersebut di atas, sehingga penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “Faktor - Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pasien Hipertensi Di Poliklinik Lembaga Pemayarakatan Klas IIA tahun “.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan Latar Belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan yakni ”Apa sajakah Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Di Poliklinik Lembaga Pemayarakatan Klas IIA tahun ”.

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk Mengetahui Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Hipertensi Di Poliklinik Lembaga Pemayarakatan Klas IIA tahun ”.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk Mengetahui hubungan Riwayat Keluarga dengan kejadian hipertensi di Polikinik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA .
b. Untuk Mengetahui hubungan Jenis kelamin dengan kejadian hipertensi di Polikinik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA .
c. Untuk Mengetahui hubungan Umur dengan kejadian hipertensi di Polikinik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA .
d. Untuk Mengetahui hubungan merokok dengan kejadian hipertensi di Polikinik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA .
e. Untuk Mengetahui hubungan Obesitas dengan kejadian hipertensi di Polikinik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA .


D. Manfaat Penelitian
1. Poliklinik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA
Penelitian ini dapat memberikan informasi atau masukan tentang faktor yang berhubungan dengan angka kejadian hipertensi pada masyarakat di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA .
2. Peneliti
Melalui penelitian ini peneliti dapat menerapkan dan memanfaatkan ilmu yang didapat selama pendidikan dan menambah pengetahuan dan pengalaman dalam membuat penelitian ilmiah.
3. Bagi Narapidana
Untuk menambah informasi seberapa baik tingkat pengetahuan narapidana tentang faktor terjadinya hipertensi.
4. Dinas Kesehatan Provinsi
Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dan pertimbangan dalam membuat kebijakan-kebijakan dibidang kesehatan di masa mendatang khususnya dalam penatalaksanaan pasien dengan hipertensi. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi data dasar bagi penelitian selanjutnya.
5. Bagi Institusi Pendidikan
Sebagai bahan bacaan atau pedoman untuk penelitian selanjutnya oleh mahasiswa/mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat dan memberi acuan dalam pengembangan ilmu pengetahuan bagi peserta didik.



Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.236

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor Risiko Terjadinya Stroke Pada Pasien Rawat Jalan

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Setiap tahun kurang lebih 15 juta orang di seluruh dunia terserang stroke. Di Amerika Serikat sekitar 5 juta orang pernah mengalami stroke. Sedangkan di Inggris sekitar 250.000 orang.
Kasus stroke meningkat di negara maju seperti Amerika dimana kegemukan dan junk food telah mewabah. Berdasarkan data statistik di Amerika, setiap tahun terjadi 750.000 kasus stroke baru di Amerika. Dari data tersebut menunjukkan bahwa setiap 45 menit, ada satu orang di Amerika yang terkena serangan stroke.
Organisasai Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan bahwa setiap tahunnya 3 juta penduduk dunia meninggal karena penyakit yang berkaitan dengan merokok. Dan pada tahun 1025 diperkirakan akan membengkak menjadi 8 juta kematian akibat rokok,sebagian besar wanita.(faisal yatim,2005).
Di Indonesia, stroke menyerang 35,8 % pasien usia lanjut dan 12,9 % pada usia yang lebih muda. Jumlah total penderita stroke di Indonesia diperkirakan 500.000 setiap tahun. Dari jumlah itu, sekitar 2,5% atau 250.000 orang meninggal dunia, dan sisanya cacat ringan maupun berat.
Angka kematian pada pria dan wanita relative sama, tetapi angka kematian di Negara-negara yang miskin dan sedang berkembang, jauh lebih besar dari pada angka kematian stroke di negara-negara maju. Angka kejadian stroke di Indonesia meningkat dengan tajam. Bahkan saat ini Indonesia merupakan negara dengan jumlah penderita stroke terbesar di Asia, karena berbagai sebab selain penyakit degeneratif, dan terbanyak karena stres. Ini sangat memprihatinkan mengingat Insan Pasca Stroke (IPS) biasanya merasa rendah diri dan emosinya tidak terkontrol dan selalu ingin diperhatikan. Tahun 2020 diperkirakan 7.6 juta orang akan meninggal karena stroke. Stroke terjadi bila pembuluh darah di otak pecah atau tersumbat, yang mengakibatkan gejala-gejala yang berlangsung lebih dari 24 jam. (Supriadi Asikin,2007)
Di Indonesia, diperkirakan setiap tahun terjadi 500.000 penduduk terkena serangan stroke, sekitar 2,5 % atau 125.000 orang meninggal, dan sisanya cacat ringan maupun berat.Jumlah penderita stroke cenderung terus meningkat setiap tahun, bukan hanya menyerang penduduk usia tua, tetapi juga dialami oleh mereka yang berusia muda dan produktif. Secara ekonomi, dampak dari insiden ini prevalensi dan akibat kecacatan karena stroke akan memberikan pengaruh terhadap menurunnya produktivitas dan kemampuan ekonomi, mulai dari ekonomi tingkat keluarga sampai pengaruhnya terhadap beban ekonomi masyarakat dan bangsa. (Jusuf misbah,2007).
80% pemicu stroke adalah hipertensi dan arteriosklerosis, Menurut badan statistic Indonesia 93% pengidap penyakit trombosis ada hubungannya dengan penyakit tekanan darah tinggi.
Pemicu stroke pada dasarnya adalah, suasana hati yang tidak nyaman (marah-marah), terlalu banyak minum alkohol, merokok, senang mengkonsumsi makanan yang berlemak,tekanan darah tinggi dan obesitas.
Di Dinas kesehatan privinsi diperoleh data stroke pada tahun sebanyak 700 penderita stroke dan pada Dinas ksehatan Kabupaten pada tahun diperoleh data 290 penderita.
Di RSUD kabupaten diperoleh data stroke pada tahun 2007 sebanyak 100 orang yang terdiri dari pasien rawat inap 38 dan rawat jalan sejumlah 62, pada tahun 2008 jumlah pasien 190 yang terdiri dari pasien rawat jalan sejumlah 140 dan rawat inap sejumlah 50 sedangkan data pada tahun sejumlah 190 yang terdiri dari pasien rawat inap sejumlah 40 orang dan pasien rawat jalan sejumlah 150 penderita.
Berdasarkan data yang diperoleh dari RSUD kabupaten di atas dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan jumlah penderita stroke. Dengan melihat peningkatan kasus tersebut perlu dilakukan penelitian mengenai factor risiko terjadinya stroke.


B. Rumusan Masalah
Dari beberapa Faktor risiko terjadinya Stroke maka perumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah Obesitas merupakan Faktor risiko terjadinya Stroke di RSUD kabupaten tahun
2. Apakah hipertensi merupakan faktor risiko terjadinya Stroke di RSUD kabupaten tahun
3. Apakah migrain merupakan faktor terjadinya stroke di RSUD kabupaten tahun

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor risiko terjadinya Stroke di RSUD kabupaten tahun .
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui risiko Obesitas terhadap kejadian Stroke di RSUD kabupaten tahun
b. Untuk mengetahui risiko Hipertensi terhadap kejadian Stroke di RSUD kabupaten tahun
c. Untuk mengetahui risiko Migrain terhadap kejadian Stroke di RSUD kabupaten tahun

D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang di harapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Manfaat alamiah
Hasil penelitia ini di harapkan sebagai sumbangan ilmiah dan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan bagi masyarakat
2. Manfaat Institusi
Hasil penelitia ini di harapkan menjadi salah satu bahan informasi dan masukan bagi pengelola bagi Rumah Sakit serta instansi terkait untuk mengetahui faktor-faktor risiko lain terhadap Stroke
3. Manfaat peneliti
Hasil penelitian ini merupakan pengalaman berharga bagi peneliti dalam memperluas wawasan keilmuan.


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.235

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor Risiko Terhadap Kejadian Diabetes Mellitus di RSUD

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Diabetes Mellitus adalah salah satu penyakit degenerative, yang merupakan salah satu penyakit di dalam sepuluh besar penyakit di Indonesia. Diabetes Mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit metabolik yang ditandai hiperglikemia kronik, dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berkaitan dengan gangguan fungsi insulin. Gangguan fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pancreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Penyakit ini timbul secara perlahan-lahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya berbagai perubahan dalam dirinya. Perubahan seperti sering buang air kecil (poliuria), sering haus (polidipsia), banyak makan/mudah lapar (polifagia) dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
Diabetes merupakan penyakit yang dapat mematikan karena pengaruhnya menyebar ke sistim tubuh yang lain, kondisi ini meliputi resistensi insulin, kadar kolesterol yang tinggi dan tekanan darah tinggi. Mereka yang memiliki tekanan darah yang lebih tinggi 3 kali lebih besar ditemukan pada penderita DM. Hipertensi berkembang dengan luas dan diderita oleh 63% sampai 70 % penderita diabetes mellitus.
Usia diatas 40 tahun, adanya riwayat keturunan diabetes mellitus dan badan terlalu gemuk merupakan faktor risiko utama seorang terkena diabetes.
Sangat disayangkan bahwa banyak penderita diabetes yang tidak menyadari dirinya mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit gula atau kencing manis. Hal ini mungkin disebabkan minimnya pengetahuan dan informasi di masyarakat tentang diabetes mellitus terutama gejala-gejalanya. Sebagian besar kasus diabetes adalah diabetes tipe 2 yang disebabkan faktor keturunan. Tetapi faktor riwayat keluarga saja tidak cukup untuk menyebabkan seseorang terkena diabetes karena risikonya hanya sebesar 5 %. Ternyata diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada orang yang mengalami obesitas atau kegemukan akibat gaya hidup yang kurang sehat.
Rumah Sakit Kabupaten merupakan salah satu Rumah Sakit rujukan yang dalam beberapa tahun terakhir ditemukan kasus diabetes mellitus sebagai berikut :tahun 2006 sebanyak 606 tahun 2007 sebnyak 1460 kasus, dan tahun terdapat 1062 kasus (Rekam Medik, ).
Berdasarkan data yang diperoleh dapat dilihat bahwa telah terjadi peningkatan jumlah kasus diabetes mellitus yang berobat di Rumah sakit Umum Daerah . Melihat terjadi peningkatan kasus diabetes mellitus di RSUD tersebut, maka peneliti tertarik untuk melihat besarnya faktor risiko terhadap kejadian diabetes mellitus di RSUD Kabupaten tahun .

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dibuatlah rumusan masalah sebagai berikut :
1. Berapa besar risiko hipertensi terhadap kejadian diabetes Mellitus?
2. Berapa besar risiko obesitas terhadap kejadian diabetes Mellitus?
3. Berapa besar risiko riwayat keluarga (keturunan) terhadap kejadian diabetes Mellitus?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui risiko terhadap kejadian diabetes mellitus di Rumah Sakit , Kabupaten tahun .
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui besar risiko kejadian diabetes mellitus berdasarkan hipertensi.
b. Untuk mengetahui besar risiko kejadian diabetes mellitus berdasarkan obesitas.
c. Untuk mengetahui besar risiko kejadian diabetes mellitus berdasarkan riwayat keluarga (keturunan).
d. Untuk mengetahui faktor risiko yang mana paling besar risikonya terhadap kejadian diabetes mellitus.

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Sebagai bahan bacaan yang bermanfaat bagi peneliti lain, khususnya yang berhubungan dengan faktor risiko kejadian Diabetes Mellitus.
2. Manfaat Institusi
Merupakan informasi berharga dan dapat diharapkan bermanfaat bagi instansi RSUD. MM. Dunda Limboto.
3. Manfaat Praktis
Bagi peneliti merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam upaya menerapakan ilmu yang diperoleh selama mengikuti pendidikan.


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.234

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor Risiko Kematian Perinatal di wilayah Kerja Puskesmas

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Pembangunan kesehatan merupakan salah satu upaya pembangunan nasional, diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan hidup sehat bagi dirinya sendiri dalam bidang kesehatan. Dalam visi pembangunan Indonesia sehat adalah agar masyarakat hidup sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi – tingginya sehingga dirumuskan dalam Visi Indonesia Sehat (Prawiroharjo, 2006).
Dalam bidang kesehatan masih banyak yang harus dilakukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagai inti sentral pembangunan peranan bidan dalam proses pembangunan khususnya menurunkan angka kematian dan kesakitan ibu dan kematian bayi sangat penting dipedesaan (Astina, 2001).
AKI di Indonesia masih cukup tinggi dan penurunannya masih sangat lambat, yaitu pada tahun 1992, AKI adalah 425 per 100.000 kelahiran hidup, menurun menjadi 384 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 1995. Masih sangat jauh dari Angka Kematian Ibu di negara Singapura dan Malaysia, yang tingkat kematiannya 5 dan 70 orang per seratus ribu kelahiran (Gloriant.org, 2000).
Di Sulawesi Selatan AKI pada tahun 1996 sebesar 170 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 1997 sebesar 160 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 1998 sebesar 192 per 100.000 kelahiran hidup, pada tahun 1999 sebesar 176 per 100.000 kelahiran hidup (Depkes, 2000).
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia pun Masih sangat tinggi bahkan di seluruh dunia, pada tahun 2008 Indonesia menduduki rangking ke enam dengan angka sekitar 6 juta bayi yang mati. Akhir Oktober 2000 diperoleh data bahwa angka kematian bayi sampai umur 1 tahun berkisar 40/1000 kelahiran hidup atau sekitar 186.500 bayi tiap 2-3 menit sampai umur 1 tahun mengalami kematian. Penyebab langsung kematian bayi tersebut 30,3% diantaranya akibat gangguan pada masa baru lahir/perinatal (Widyakusuma, 2005).
Penelitian kematian perinatal dibeberapa rumah sakit di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat faktor – faktor yang mempengaruhi kematian perinatal yaitu faktor ibu yang memperbesar risiko kematian perinatal (high risk mother). faktor ibu yang memperbesar risiko kematian perinatal adalah umur ibu yang melebihi 35 tahun atau kurang dari 20 tahun; paritas pertama atau lebih dari tiga kali; status gizi ibu pada saat hamil; status ekonomi dan pendidikan yang rendah; tinggi badan ibu; berat badan ibu; jarak kehamilan kurang dari 2 tahun; gangguan gizi; ibu dengan problema social misalnya perceraian, perkawinan lebih dari satu isteri atau perkawinan tidak sah (Alisyahbana, 2001).
Di negara-negara berkembang kematian ibu disebabkan oleh kehamilan dan persalinan yang terlantar dan kehamilan yang tidak diinginkan, dan terbanyak disebabkan oleh eklampsia, pendarahan, infeksi, keguguran kandungan oleh sikap percobaan abortus provokatus yang dilakukan oleh orang yang tidak profesional, tetapi dengan kemajuan teknologi yang semakin canggih termasuk di bidang kedokteran, persalinan ibu yang mengalami komplikasi dapat di bantu dengan operasi caesar dalam pelayanan obsestri selain angka kematian bayi terdapat juga angka kematian perinatal yang dapat digunakan sebagai parameter keberhasilan pelayanan. Kemampuan penyelenggaraan pelayanan kesehatan suatu bangsa diukur dengan tinggi rendahnya angka kematian perinatal dan angka kematian ibu dalam 100.000 persalinan hidup, sedangkan tingkat kesejahteraan suatu bangsa ditentukan oleh seberapa jauh gerakan keluarga berencana dapat diterima masyarakat (Widyakusuma, 2005).
Penyebab utama kematian maternal antara lain pendarahan postpartum eklampsia, dan penyakit infeksi dan plasenta previa yang kesemuanya bersumber pada anemia defisiensi. Selain itu, hal yang memicu tingginya angka kematian bayi akibat adalah perilaku ibu hamil itu sendiri yang masih sangat kurang memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada. Hal ini bisa dipicu oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rendah, keadaan ekonomi bahkan sosial budaya yang ada masing-masing daerah dimana ibu hamil itu tinggal (Damayanti, dkk, 2007).
Selain itu, faktor bayi yang mempertinggi angka kematian perrinaral adalah bayi yang lahir dari kehamilan yang bersifat high risk; berat badan lahir kurang dari 2500 gram atau lebih dari 4000 gram; bayi yang dilahirkan kurang dari 37 minggu atau lebih dari 42 minggu.
Angka kematian ibu dan bayi merupakan salah satu indikator keberhasilan layanan kesehatan disuatu negara. Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, yaitu sebesar 373 per 100.000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab tidak langsung kematian ibu adalah penyakit yang mungkin telah terjadi sebelum kehamilan dan diperburuk oleh kehamilan ibu sendiri. Penyakit itu antara lain adalah anemia dan sebagainya.
Dinegara berkembang seperti Indonesia kemungkinan terjadinya infeksi pasca salin yang tinggi adalah pada kasus persalinan, karena pada umumnya di lakukan pada ibu dan anak dalam keadaan gawat darurat, seperti pada penelitian yang di lakukan oleh Linus tahun 1998, bahwa Rumah Bersalin Mariem, dari 39 persalinan caesar terdapat 30 (76,9 %) dengan komplikasi antenatal, sehingga angka kesakitan ibu setelah persalinan caesar lebih sering dan lebih berat di banding paska persalinan pervagina (Prawirohardjo, 2006).
Angka kematian bayi di Provinsi Sulawesi Utara berdasarkan data Profil Kesehatan Kabupaten/Kota Tahun 2008 sebesar 273/100.000 kelahiran hidup. Penyebab kematian tersebut antara lain karena asfiksia neonatorum dan infeksi (Profil kesehatan Sulawesi Utara, ).
Mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan, maka menghindari persalinan adalah penting, untuk itu perlu diperhatikan secara saksama faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya kematian bayi tersebut, sehingga dengan diketahuinya faktor-faktor tersebut diharapkan ibu yang sedang hamil dan terutama yang memiliki risiko untuk persalinan dapat lebih menjaga dan memelihara kesehatan dirinya dan kandungannya melalui pelayanan kesehatan yang optimal.
Derajat kesehatan masyarakat ditunjang keberhasilannya oleh karena pengaruh adanya kematian dan kelahiran hidup. Angka kematian bayi dan angka kematian ibu merupakan indikator keberhasilan AKI dan AKB dalam suatu wilayah tertentu.
Indonesia, masih tinggi angka kematian bayi yakni berkisar sebanyak 67 % dari beberapa daerah yang menunjang menurunnya angka kelahiran pada daerah tersebut yakni contohnya di daerah Jogja, Aceh dan Semarang yakni berkisar sebanyak 65 % daerah yang angka kematian bayinya meningkat.
Merupakan hal yang sangat penting adalah menurunkan prevalensi kematian bayi pada saat sekarang ini karena angka ini menjamin keberhasilan program suatu daerah tersebut dikatakan tercapai.
Jika dilihat berdasarkan profil puskesmas itu bahwa pada tahun – didapatkan jumlah kasus kematiaan perinatal pada tahun berjumlah 45 kasus dan pada tahun berjumlah 62 kasus atau bisa diperkirakan kira – kira sekitar 50 kasus pertahun (rekam medik, ).
Tingginya angka kematian perinatal mempunyai dampak yang besar dalam suatu negara mengingat angka kematian bayi merupakan indikator utama derajat kesehatan masyarakat, maka penelitian ini akan membahas tentang beberapa faktor risiko kematian perinatal di Puskesmas Kabupaten tahun .


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang permasalahan, maka yang menjadi rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1. Apakah umur ibu merupakan factor risiko kematian perinatal di Puskesmas Kabupaten Tahun ?
2. Apakah paritas merupakan factor risiko kematian perinatal di Puskesmas Kabupaten Tahun ?
3. Apakah berat badan lahir merupakan factor risiko kematian perinatal di Puskesmas Kabupaten Tahun ?
4. Apakah status gizi ibu berdasarkan LILA merupakan factor risiko kematian perinatal di Puskesmas Kabupaten Tahun ?
5. Apakah antenatal care merupakan factor risiko kematian perinatal di Puskesmas Kabupaten Tahun ?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor-faktor risiko kejadian kematian bayi di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun .
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui besar risiko umur ibu terhadap kejadian kematian bayi di Puskesmas Kabupaten Tahun
b. Untuk mengetahui besar risiko paritas terhadap kejadian kematian bayi di Puskesmas Kabupaten Tahun
c. Untuk mengetahui besar risiko berat badan bayi terhadap kejadian kematian bayi di Puskesmas Kabupaten Tahun
d. Untuk mengetahui besar risiko status gizi ibu berdasarkan LILA terhadap kejadian kematian bayi di Puskesmas Kabupaten Tahun
e. Untuk mengetahui besar risiko Antenatal Care (ANC) terhadap kejadian kematian bayi di Puskesmas Kabupaten Tahun

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini sebagai sumber informasi bagi Dinas Kesehatan Provinsi dalam rangka penentuan arah kebijakan dan pengembangan program penyuluhan/promosi kesehatan untuk menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) pada masa mendatang dan bagi Puskesmas Kabupaten merupakan informasi yang berharga dalam perbaikan pelayanan.
2. Manfaat Keilmuan
Hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu bahan bacaan bagi peneliti berikutnya.
3. Manfaat bagi peneliti
Merupakan pengalaman yang sangat berharga bagi peneliti dalam memperluas wawasan dan pengetahuan tentang Faktor-faktor yang berhubungan dengan Kematian Maternal melalui penelitian lapangan.

Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.233

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor Risiko Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Balita

I. PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Tujuan pembangunan kesehatan yang telah tercantum pada Sistem Kesehatan Nasional adalah suatu upaya penyelenggaraan kesehatan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia guna mendapatkan kemampuan hidup sehat bagi setiap masyarakat agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal yang mana dikatakan bahwa peningkatan derajat kesehatan masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, pelayanan kesehatan, tindakan serta bawaan (congenital). Hidup sehat merupakan hak yang dimilki oleh setiap manusia yang ada didunia ini, akan tetapi diperlukan berbagai cara untuk mendapatkannya (Anonim, 2007).
Sebagai upaya untuk mewujudkan visi Indonesia sehat 2010, pemerintah telah menyusun berbagai program pembangunan dalam bidang kesehatan antara lain kegiatan pemberantasan Penyakit Menular (P2M) baik yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif di semua aspek lingkungan kegiatan pelayanan kesehatan.
Untuk dapat mengukur derajat kesehatan masyarakat digunakan beberapa indikator, salah satunya adalah angka kesakitan dan kematian balita. Angka kematian balita yang telah berhasil diturunkan dari 45 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2003 menjadi 44 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 (Anonim, 2008).
World Health Organization (WHO) memperkirakan insidens Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) di negara berkembang dengan angka kematian balita di atas 40 per 1000 kelahiran hidup adalah 15%-20% pertahun pada golongan usia balita. Menurut WHO  13 juta anak balita di dunia meninggal setiap tahun dan sebagian besar kematian tersebut terdapat di Negara berkembang, dimana pneumonia merupakan salah satu penyebab utama kematian dengan membunuh  4 juta anak balita setiap tahun (Depkes, 2000 dalam Asrun, 2006).
Di Indonesia, Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) selalu menempati urutan pertama penyebab kematian pada kelompok bayi dan balita. Selain itu ISPA juga sering berada pada daftar 10 penyakit terbanyak di rumah sakit. Survei mortalitas yang dilakukan oleh Subdit ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA/Pneumonia sebagai penyebab kematian bayi terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2008).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah proses infeksi akut berlangsung selama 14 hari, yang disebabkan oleh mikroorganisme dan menyerang salah satu bagian, dan atau lebih dari saluran napas, mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah), termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Anonim, 2007).
Gejala awal yang timbul biasanya berupa batuk pilek, yang kemudian diikuti dengan napas cepat dan napas sesak. Pada tingkat yang lebih berat terjadi kesukaran bernapas, tidak dapat minum, kejang, kesadaran menurun dan meninggal bila tidak segera diobati. Usia Balita adalah kelompok yang paling rentan dengan infeksi saluran pernapasan. Kenyataannya bahwa angka morbiditas dan mortalitas akibat ISPA, masih tinggi pada balita di negara berkembang.
Penemuan penderita ISPA pada balita di Sulawesi Tenggara, sejak tahun 2006 hingga 2008, berturut–turut adalah 74.278 kasus (36,26 %), 62.126 kasus (31,45%), 72.537 kasus (35,94%) (Anonim, 2008). Sedangkan penemuan penderita ISPA pada balita di Kabupaten dari tahun 2006 hingga 2008, berturut-turut adalah 8.291 kasus (23,63%), 7.671 kasus (28,09%) dan 7.289 kasus (24,63%). Data kesakitan yang dilaporkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten tiga tahun terakhir (tahun 2006 sampai dengan tahun 2008), Puskesmas menduduki urutan kedua tertinggi ISPA dari 24 Puskesmas di Wilayah Kabupaten . Atas dasar tersebut maka penulis memilih Puskesmas sebagai lokasi penelitian (Anonim, 2008).
Di Wilayah Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) , penemuan penderita ISPA pada balita tahun 2006 sebanyak 1.471 kasus (20,29%) dan sebanyak 415 (28,2%) kasus peneumonia. Tahun 2007 sebanyak 1.059 kasus (24,62%) dengan 258 (24,4%) kasus pneumonia. Kasus ISPA pada balita di Puskesmas pada tahun 2008 ditemukan sebanyak 1.149 dengan 383 (33,3%) kasus pneumonia (Anonim, 2007).
Berdasarkan uraian di atas, penyakit ISPA merupakan salah satu penyakit dengan angka kesakitan dan angka kematian yang cukup tinggi, sehingga dalam penanganannya diperlukan kesadaran yang tinggi baik dari masyarakat maupun petugas, terutama tentang beberapa faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan. Menurut Hendrik Blum dalam Notoatmodjo, 1996, faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain faktor lingkungan seperti asap dapur, faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah, faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR dan faktor keturunan.
Asap dapur dan faktor prilaku seperti kebiasaan merokok keluarga dalam rumah sangat berpengaruh karena semakin banyak penderita gangguan kesehatan akibat merokok ataupun menghirup asap rokok (bagi perokok pasif) yang umumnya adalah perempuan dan anak-anak, sedangkan faktor pelayanan kesehatan seperti status imunisasi, ASI Ekslusif dan BBLR merupakan faktor yang dapat membantu mencegah terjadinya penyakit infeksi seperti gangguan pernapasan sehingga tidak mudah menjadi parah (Anonim, 2007).
Banyak faktor yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA, yang dapat meningkatkan angka kesakitan dan angka kematian akibat pneumonia. Hal inilah yang mendasari penulis untuk meneliti faktor-faktor resiko yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten .

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
Bagaimanakah faktor resiko kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten Tahun ?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor resiko kejadian ISPA pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kabupaten .
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui hubungan asap dapur dengan kejadian ISPA pada balita.
b. Untuk mengetahui hubungan kebiasaan merokok dalam rumah dengan kejadian ISPA pada balita.
c. Untuk mengetahui hubungan ASI Ekslusif dengan kejadian ISPA pada balita.
d. Untuk mengetahui hubungan status imunisasi dengan kejadian ISPA pada balita.
e. Untuk mengetahui hubungan BBLR dengan kejadian ISPA pada balita.



Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.232

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor Risiko Kejadian Gizi Kurang Pada Balita Di Tinjau Dari Pola Makan, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu dan Penyakit Infeksi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan di bidang kesehatan pada hakikatnya merupakan bagian integral dari pembangunan kesejahteraan bangsa secara berkesinambungan, terus menerus dilakukan bangsa Indonesia untuk menggapai cita-cita luhur, yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur, baik spiritual maupun material. GBHN 1999 mengamanatkan perlunya meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung melalui pendekatan paradigma sehat, dengan memberikan prioritas pada upaya peningkatan kesehatan, pencegahan, penyembuhan , pemulihan, dan rehabilitasi (Aditama dan Hastuti, 2006).
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Bukti empiris menunjukkan bahwa hal ini sangat ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi. Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan, faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan nasional. Secara perlahan kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup. Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan ekonomi (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2007 ).
Kesepakatan global berupa Millenium Development Goals (MDGS) yang terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator, menegaskan bahwa pada tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Untuk Indonesia, indikator yang digunakan adalah peresentase anak berusia di bawah 5 tahun (balita) yang mengalami gizi buruk (severe underweight) dan persentase anak-anak berusia 5 tahun (balita) yang mengalami gizi kurang (moderate underweight) (Ariani, 2007).
Salah satu masalah pokok kesehatan di negara sedang berkembang adalah masalah gangguan terhadap kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh kekurangan gizi. Masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh masalah Kurang Energi Protein (KEP), Anemia zat Besi, Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY), dan kurang Vitamin A (KVA). Penyakit kekurangan gizi banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang giuzi dan juga kekurangan zat makanan. Penyakit gizi kurang banyak ditemui pada masyarakat golongan rentan, yaitu golongan yang mudah sekali menderita akibat kurang gizi dan juga kekurangan zat makanan (Syahmien Moehji, 2005).
Kebutuhan setiap orang akan makanan tidak sama, karena kebutuhan akan berbagai zat gizi juga berbeda. Umur, Jenis kelamin, macam pekerjaan dan faktor-faktor lain menentukan kebutuhan masing-masing orang akan zat gizi. Anak balita (bawah lima tahun) merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering dan sangat rawan menderita akibat kekurangan gizi yaitu KEP.
Kurang gizi atau gizi buruk dinyatakan sebagai penyebab tewasnya 3,5 juta anak di bawah usia lima tahun (balita) di dunia. Mayoritas kasus fatal gizi buruk berada di 20 negara, yang merupakan negara target bantuan untuk masalah pangan dan nutrisi. Negara tersebut meliputi wilayah Afrika, Asia Selatan, Myanmar, Korea Utara, dan Indonesia. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal kesehatan Inggris The Lanchet ini mengungkapkan, kebanyakan kasus fatal tersebut secara tidak langsung menimpa keluarga miskin yang tidak mampu atau lambat untuk berobat, kekurangan vitamin A dan Zinc selama ibu mengandung balita, serta menimpa anak pada usia dua tahun pertama. Angka kematian balita karena gizi buruk ini terhitung lebih dari sepertiga kasus kematian anak di seluruh dunia (Malik, 2008).
Kekurangan gizi merupakan salah satu penyebab tingginya kematian pada bayi dan anak. Apabila anak kekurangan gizi dalam hal zat karbohidrat (zat tenaga) dan protein (zat pembangun) akan berakibat anak menderita kekurangan gizi yang disebut KEP tingkat ringan dan sedang, apabila hal ini berlanjut lama maka akan berakibat terganggunya pertumbuhan, terganggunya perkembangan mental, menyebabkan terganggunya sistem pertahanan tubuh, hingga menjadikan penderita KEP tingkat berat sehingga sangat mudah terserang penyakit dan dapat berakibat kematian (Syahmien Moehji, 2005).
Berbagai penelitian membuktikan lebih dari separuh kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang jelek. Risiko meninggal dari anak yang bergizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak yang normal. WHO memperkirakan bahwa 54% penyebab kematian bayi dan balita didasari oleh keadaan gizi anak yang jelek (Irwandy, 2007).
Faktor penyebab langsung terjadinya kekurangan gizi adalah ketidakseimbangan gizi dalam makanan yang dikonsumsi dan terjangkitnya penyakit infeksi. Penyebab tidak langsung adalah ketahanan pangan di keluarga, pola pengasuhan anak dan pelayanan kesehatan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dengan tingkat pendidikan, pengetahuan dan ketrampilan keluarga serta tingkat pendapatan keluarga (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).
Faktor ibu memegang peranan penting dalam menyediakan dan menyajikan makanan yang bergizi dalam keluarga, sehingga berpengaruh terhadap status gizi anak (I Dewa Nyoman Supariasa, 2007).
Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goals pada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, , Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).
Masalah kurang gizi merupakan akibat dari interaksi antara berbagai faktor, akan tetapi yang paling utama adalah dua faktor yaitu konsumsi pangan dan infeksi, adanya ketidakseimbangan antara konsumsi zat energi dan zat protein melalui makanan, baik dari segi kuantitatif dan kualitatif. Dideritanya panyakit infeksi, yang umumnya infeksi saluran pernafasan dan infeksi saluran pencernaan, maka keadaan kurang gizi akan bertambah parah. Namun sebaliknya penyakit-penyakit tersebut dapat bertindak sebagai pemula terjadinya kurang gizi sebagai akibat menurunnya nafsu makan, adanya gangguan penyerapan dalam saluran pencernaan serta meningkatnya kebutuhan gizi akibat adanya penyakit (Syahmien Moehji, 2005).
Selain dari penyebab utama tersebut banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya masalah kurang gizi yaitu ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga, pola pengasuhan anak, kondisi lingkungan atau penyediaan air bersih serta pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta faktor sosial budaya dan ekonomi seperti tingkat pendapatan keluarga, besar anggota keluarga, pantangan atau tabu dalam hal makanan dan adat kebiasaan yang merugikan (Syahmien Moehji, 2005).
Di provinsi angka penderita gizi kurang yaitu sebesar 12,75% dari 336.111 balita yang di ukur menurut dinas kesehatan tahun 2008.
Berdasarkan data yang diperoleh dari survey Pemantauan Status Gizi (PSG) tahun 2008 bahwa jumlah balita di kabupaten yaitu 11.657 jiwa, dimana penderita gizi buruk sebanyak 628 (5,4 %) jiwa dan jumlah penderita gizi kurang sebanyak 2.493 (21,4 %) jiwa.
Data mengenai status gizi balita di Puskesmas Kecamatan tahun menunjukkan dari sejumlah 823 balita terdapat 426 balita gizi baik, 136 balita gizi kurang (16,16%) dan 11 balita gizi buruk (1,33%). Dari data di atas dapat dilihat bahwa masih tingginya jumlah kasus, baik kasus gizi kurang maupun kasus gizi buruk pada tahun di wilayah kerja Puskesmas . Dari jumlah penderita gizi buruk diatas, dapat dikategorikan masih tinggi dibanding jumlah standar nasional yang ditetapkan yaitu <1% dan untuk kejadian gizi kurang <15%. Penyebab gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia sesuai hasil penelitian bermula dari krisis ekonomi, politik dan sosial menimbulkan dampak negatif seperti kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan rendah, kesempatan kerja kurang, pola makan, ketersediaan bahan pangan pada tingkat rumah tangga rendah, pola asuh anak yang tidak memadai, pendapatan keluarga yang rendah, sanitasi dan air bersih serta pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai (Unicef, 1999 dalam Khomsan, dkk 2005). Dari latar belakang inilah maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Faktor Risiko kejadian Gizi Kurang Pada Balita Di Tinjau Dari Pola Makan, Tingkat Pengetahuan Gizi Ibu Dan Penyakit Infeksi. Di Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Kabupaten tahun . B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, penelitian ini diharapkan dapat menjawab pertanyaan sebagai berikut: 1. Berapa besar faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun ? 2. Berapa besar faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun ? 3. Berapa besar faktor risiko tingkat penyakit infeksi dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun ? 4. Berapa besar faktor risiko tingkat pekerjaan orang tua dengan kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun ? 5. Berapa besar faktor risiko tingkat pendapatan dengan kejadian gizi kurang di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kabupaten tahun . 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui faktor risiko pola makan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun . b. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pengetahuan gizi ibu terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun . c. Untuk mengetahui faktor risiko penyakit infeksi terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun . d. Untuk mengetahui faktor risiko tingkat pekerjaan orang tua terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun . e. Untuk mengetahui faktor risiko pendapatan terhadap kejadian gizi kurang pada balita di wilayah kerja Puskesmas Kabupaten tahun . D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Ilmiah Hasil penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan menjadi salah satu sumber bacaan bagi para peneliti dimasa yang akan datang. 2. Manfaat Institusi Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan masukan bagi Dinas Kesehatan khususnya bagi Puskesmas serta pihak lain dalam menentukan kebijakan untuk menekan dan menangani kasus gizi buruk dan gizi kurang pada bayi/anak balita. 3. Manfaat Praktis Untuk mengetahui dan mendapatkan pengalaman yang nyata dalam melakukan penelitian khususnya mengenai beberapa faktor risiko kejadian gizi kurang pada balita.


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.231

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Faktor Risiko Kejadian Diabetes Melitus di Rumah Sakit Umum Daerah

BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang
Diabetes Mellitus adalah salah satu penyakit degeneratif, yang merupakan salah satu penyakit di dalam sepuluh besar penyakit di Indonesia. Diabetes Mellitus (DM) yang umum dikenal sebagai kencing manis adalah penyakit metabolik yang ditandai hiperglikemia kronik, dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan protein yang berkaitan dengan gangguan fungsi insulin. Gangguan fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Penyakit ini timbul secara perlahan-lahan, sehingga seseorang tidak menyadari adanya berbagai perubahan dalam dirinya. Perubahan seperti sering buang air kecil (poliuria), sering haus (polidipsia), banyak makan/mudah lapar (polifagia) dan berat badan menurun tanpa sebab yang jelas.
Diabetes merupakan penyakit yang dapat mematikan karena pengaruhnya menyebar ke sistim tubuh yang lain, kondisi ini meliputi resistensi insulin, kadar kolesterol yang tinggi dan tekanan darah tinggi. Mereka yang memiliki tekanan darah yang lebih tinggi 3 kali lebih besar ditemukan pada penderita DM. Hipertensi berkembang dengan luas dan diderita oleh 63% - 70 % penderita diabetes mellitus.
Usia diatas 40 tahun, adanya riwayat keturunan diabetes mellitus dan badan terlalu gemuk merupakan faktor risiko utama seorang terkena diabetes.
Laporan statistik dari International Diabetes Federation (IDF) menyebutkan, bahwa sekarang sudah ada sekitar 230 juta penederita diabetes. Angka ini terus bertambah hingga 3% atau sekitar 7 juta orang setiap tahunya, dengan demikian jumlah penderita diabeytes diperkirakan akan mencapai 350 juta pada tahun 2005 dan setengah dari angkatersebut berada diAsia, terutama Cina, India Pakistan dan Indonesia. Diabetes merupakan penyebab kematian terbesar keempat diDunia. Setiap tahun ada 3,2 juta kematian yang disebabakan langsung oleh diabetes. Itu berarti ada 1 orang per 10 detik atau 60 orang permenit yang meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan diabetes. Di Amerika yang sudfah maju sekalipun, angka kematian akibat diabetes bisa mencapai 200.000 orang pertahun (Tandra, 2008).
Diabetes mellitus masuk dalam penyakit terbanyak di Asia, tahun 2003 diperkirakan 89 juta penduduk Asia menderitaDiabetes.
Dikawasan ASEAN jumlah penderita diabetes mellitus juga mengalami peningkatan, pada tahun 2000 sebesar 12,3 juta dan diperkirakan akan meningkat menjadi 19,4 juta pada tahun
Menurut data WHO, Indonesia menempati urutan ke-4 terbesar dalam jumlah penderita diabetes mellitus di Dunia. Pada tahun 2000 yang lalu saja, terdapat sekitar 5,6 juta penduduk Indonesia yang mengidap diabetes. Namun, pada tahun 2006 jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat menjadi 14 Juta orang, dimana baru 50 persen yang sadar mengidap diabetes dan diantara mereka baru sekitar 30 persen yang berobat teratur (Maulana, 2008).
Sangat disayangkan bahwa banyak penderita diabetes yang tidak menyadari dirinya mengidap penyakit yang lebih sering disebut penyakit gula atau kencing manis. Hal ini mungkin disebabkan minimnya pengetahuan dan informasi di masyarakat tentang diabetes mellitus terutama gejala-gejalanya. Sebagian besar kasus diabetes adalah diabetes tipe 2 yang disebabkan faktor keturunan, tetapi faktor riwayat keluarga saja tidak cukup untuk menyebabkan seseorang terkena diabetes karena risikonya hanya sebesar 5%. Ternyata diabetes tipe 2 lebih sering terjadi pada orang yang mengalami obesitas atau kegemukan akibat gaya hidup yang kurang sehat.
Diabetes Mellitus masuk dalam penyakit terbanyak di Asia, tahun 2003 diperkirakan 89 juta penduduk Asia menderita Diabetes.
Meningkatanya data penderita diabetes melitus setiapa tahun dengan komplikasi akut dan kronis di setiap negara di dunia jelas memberi beban ekonomi yang tidak sedikit. Tanpa pengonatan yang baik, diabetes akan menyerang banyak organ penting dalam tubuh, bahkan bisa berakibat fatal. Dari penelitian yang dilakukan WHO di India pada tahun 2006, seorang penderita diabetes dewasa menambah pengeluaran rumah tangga sampai 25 %. Demikian pula di negara=-negara psifik barat (termasuk Indonesia), 16% biaya perawatan di Rumah Sakit dikeluarkan oleh pasien diabetes. Biaya ini belum termasuk dampak sosial dan ekonomi karena penderita tidak mampu bekerja. Semua ini menimbulkan beban yang sangat besar dan harus menjadi perhatian semua orang.
Rumah Sakit merupakan salah satu Rumah Sakit rujukan yang dalam beberapa tahun terakhir ditemukan kasus diabetes mellitus sebagai berikut : tahun 2008 sebanyak 90 penderita, tahun  sebanyak 93 penderita, dan tahun sebanyak 25 penderita (RSU)
Berdasarkan data yang diperoleh dapat dilihat bahwa telah terjadi peningkatan jumlah kasus diabetes mellitus yang berobat di Rumah sakit Umum Daerah Kabupaten Melihat terjadi peningkatan kasus diabetes mellitus di RSUD tersebut, maka peneliti tertarik untuk melihat besarnya risiko beberapa faktor terhadap kejadian diabetes mellitus di RSUD Kabupaten tahun

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka dibuatlah rumusan masalah sebagai berikut :
1. Berapa besar risiko hipertensi terhadap kejadian diabetes Mellitus?
2. Berapa besar risiko obesitas terhadap kejadian diabetes Mellitus?
3. Berapa besar risiko riwayat keluarga (keturunan) terhadap kejadian diabetes Mellitus?
4. Berapa besar risiko Jenis Kelamin terhadap kejadian diabetes Mellitus?
5. Berapa besar risiko Umur terhadap kejadian diabetes Mellitus?

C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui risiko kejadian diabetes mellitus di RSUD Kabupaten tahun
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui besar risiko kejadian diabetes mellitus berdasarkan hipertensi.
b. Untuk mengetahui besar risiko kejadian diabetes mellitus berdasarkan obesitas.
c. Untuk mengetahui besar risiko kejadian diabetes mellitus berdasarkan riwayat keluarga (keturunan).
d. Untuk mengetahui besar risiko kejadian diabetes mellitus berdasarkan Jenis Kelamin.
e. Untuk mengetahui besar risiko kejadian diabetes mellitus berdasarkan Umur

D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
Sebagai bahan bacaan yang bermanfaat bagi peneliti lain, khususnya yang berhubungan dengan faktor risiko kejadian Diabetes Mellitus.
2. Manfaat Institusi
Merupakan informasi berharga dan dapat diharapkan bermanfaat bagi instansi di RSUD .......... Kabupaten ..........
3. Manfaat Praktis
Bagi peneliti merupakan pengalaman yang sangat berharga dalam upaya menerapakan ilmu yang diperoleh selama mengikuti pendidikan.


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.230

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI

Beberapa Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas

BAB I
PEDAHULUAN


A. Latar Belakang
Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) sampai saat ini merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia yang cenderung meningkat jumlah pasien serta semakin luas penyebarannya. Penyakit DBD ini ditemukan hampir di seluruh belahan dunia terutama di negara–negara tropik dan subtropik, baik sebagai penyakit endemik maupun epidemik. Hasil studi epidemiologik menunjukkan bahwa DBD menyerang kelompok umur balita sampai dengan umur sekitar 15tahun.Kejadian Luar Biasa (KLB) dengue biasanya terjadi di daerah endemik dan berkaitan dengan datangnya musim hujan, sehingga terjadi peningkatan aktifitas vektor dengue pada musim hujan yang dapat menyebabkan terjadinya penularan penyakit DBD pada manusia melalui vektor Aedes.Sehubungan dengan morbiditas dan mortalitasnya, DBD disebut the most mosquito transmitted disease (Djunaedi, 2006).
Penyakit DBD di Indonesia pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1968, dan di Jakarta dilaporkan pada tahun 1969. Pada tahun 1994 kasus DBD menyebar ke 27 provinsi di Indonesia. Sejak tahun 1968 angka kesakitan kasus DBD di Indonesia terus meningkat, tahun 1968 jumlah kasus DBD sebanyak 53 orang (Incidence Rate (IR) 0.05/100.000 penduduk) meninggal 24 orang (42,8%). Pada tahun 1988 terjadi peningkatan kasus sebanyak 47.573 orang (IR 27,09/100.000 penduduk) dengan kematian 1.527 orang (3,2%) (Hadinegoro dan Satari, 2006).
Jumlah kasus DBD cenderung menunjukkan peningkatan baik dalam jumlah maupun luas wilayah yang terjangkit, dan secara sporadis selalu terjadi KLB. KLB terbesar terjadi pada tahun 1988 dengan IR 27,09/100.000 penduduk, tahun 1998 dengan IR 35,19/100.000 penduduk dan Case Fatality Rate (CFR) 2 %, pada tahun 1999 IR menurun sebesar 10,17/100.000 penduduk (tahun 2002), 23,87/100.000 penduduk (tahun 2003) (Kusriastusi, 2005).
Penyakit yang ditularkan oleh nyamuk, seperti DBD masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di Provinsi baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pada beberapa tahun terakhir, penyakit yang ditularkan oleh nyamuk cenderung mengalami peningkatan jumlah kasus maupun kematiannya. Seperti KLB, DBD secara nasional juga menyebar di Kota .Penyebaran kasus DBD di terdapat di 6 kabupaten/kota (semua kabupaten/kota) dan juga di kecamatan atau desa yang ada di wilayah perkotaan maupun di pedesaan.Jumlah kasus dan kematian akibat penyakit DBD di selama 5 tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan (Profil Dikes Provinsi ,2008).
Pada tahun 2008 dan 2009 terjadi lonjakan kasus yang cukup drastis, yaitu tahun 2008 sebanyak 93 kasus, dan tahun 2009 sebanyak 172 kasus.. Berdasarkan penyebaran kasus DBD di Propvinsi , Kota termasuk salah satu daerah penyebaran kasus (Profil Dikes Kota ,2008).
Berdasarkan profil Kesehatan Kota tahun 2007 kasus DBD di daerah tersebut dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2007 KLB DBD terjadi di semua Kecamatan yang ada di wilayah Kota , dan kasus terbanyak terjadi di Kecamatan kota Tengah kota pada wilayah kerja Puskesmas (Profil Dikes Kota ,2008).
Dalam profil dinas kesehatan disebutkan jumlah kasus DBD dalam 3 tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2008 ditemukan 93 kasus, tahun 2009 ditemukan 172 kasus, Pada tahun 2007 jumlah kematian akibat penyakit DBD ditemukan sebanyak 2 orang, attack rate 0,07%, CFR 0,55% dan pada tahun 2008 jumlah kematian ditemukan sebanyak 4 orang, attack rate 0,083% dan CFR 0,75%.Dari standar WHO, sebuah daerah dapat dikatakan baik penanganan kasus DBD bila nilai CFR-nya di bawah 1%. Jadi penanganan kasus DBD di Kota dapat dikatakan baik. (Profil Dinkes Kota , 2008).
Sesuai dengan indikator keberhasilan propinsi untuk angka kesakitan DBD per-100.000 penduduk adalah 5 (Dinkes Provinsi , 2008). Berdasarkan data penyebaran kasus DBD per desa dari Dinas Kesehatan Kota selama 3 tahun terakhir jumlah kasus DBD di Puskesmas terus mengalami peningkatan, mulai dari tahun 2007 ditemukan sebanyak 19 kasus, tahun 2008 sebanyak 25 kasus dan tahun 2009 ditemukan kasus DBD sebanyak 28 kasus. (Profil Puskesmas ) Wilayah kerja Puskesmas yang melayani 6 kelurahan merupakan daerah dengan jumlah kasus DBD terbanyak tiap tahunnya. Dari 6 kelurahan terdapat 3 kelurahan yang selama 3 tahun terakhir mengalami peningkatan jumlah kasus DBD nya yaitu Kelurahan Pulubala pada tahun 2006 ditemukan 1 kasus, tahun 2007 ditemukan 25 kasus, tahun 2008 ditemukan 22 kasus dan tahun 2009 ditemukan 14 kasus, kelurahan liluwo pada tahun 2006 ditemukan 1 kasus, tahun 2007 ditemukan 5 kasus, tahun 2008 ditemukan 19 kasus dan tahun 2009 ditemukan 45 kasus dan Kelurahan Wumialo tahun 2006 tidak ada kasus, tahun 2007 ditemukan 10 kasus, tahun 2008 ditemukan 32 kasus dan tahun 2009 ditemukan 37 kasus. (Profil Dinkes Kota , 2008).
Melihat jumlah kasus DBD 3 tahun terakhir di Puskesmas yang selalu meningkat, hal ini disebabkan karena lokasi rumah berdekatan dengan aliran limbah dan juga lokasi rumah yang terlalu berdekatan , lingkungan sekitar rumah yang dekat dengan kebun, masyarakat masih terlihat membuang sampah sembarangan, peran serta masyarakat dalam pelaksanaan PSN kurang, kurangnya penyuluhan tentang DBD.Sehingga dapat digambarkan bahwa perilaku masyarakat di wilayah kerja Puskesmas kurang memperhatikan kebersihan lingkungan dan belum melakukan pencegahan serta pemberantasan sarang nyamuk (PSNDBD) dengan mengendalikan nyamuk vektor Aedes aegypti.((Profil Puskesmas , 2008)
Dari beberapa faktor lingkungan yang ada di wilayah kerja Puskesmas peneliti ingin meneliti lebih lanjut mengenai beberapa faktor lain yang berhubungan dengan kejadian DBD di wilayah kerja puskesmas yang meliputi keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer, kebiasaan menggantung pakaian, ketersediaan tutup pada kontainer dan pengetahuan responden tentang DBD, sehingga dapat membantu dalam menurunkan jumlah kesakitan dan kematian akibat penyakit DBD serta membantu masyarakat untuk lebih memperhatikan faktor-faktor apa saja yang bias menjadi penyebab penularan penyakit DBD.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah ada hubungan keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kota Tengah Kota ?
2. Apakah ada hubungan kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian DBD di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kota Tengah Kota ?
3. Apakah ada hubungan ketersediaan tutup pada kontainer dengan kejadian DBD di di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kota Tengah Kota
4. Apakah ada hubungan pengetahuan responden tentang DBD dengan kejadian DBD di di wilayah kerja Puskesmas Kecamatan Kota Tengah Kota ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui hubungan antara keberadaan jentik Aedes aegypti pada kontainer dengan kejadian DBD di Puskesmas Kecamatan Kota Tengah Kota
2. Untuk mengetahui hubungan antara kebiasaan menggantung pakaian dengan kejadian DBD di Puskesmas Kecamatan Kota Tengah Kota
3. Untuk mengetahui hubungan antara ketersediaan tutup pada kontainer dengan kejadian DBD di Puskesmas Kecamatan Kota Tengah Kota
4. Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan responden tentang DBD dengan kejadian DBD di Puskesmas Kecamatan Kota Tengah Kota .

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Instansi Puskesmas dan Dinas Kesehatan
Sebagai informasi dan bahan pertimbangan dalam pemecahan masalah pada program kesehatan bidang penyakit menular, khususnya masalah pencegah penyakit DBD agar dapat dijadikan sebagai monitoring dan evaluasi program pemberantasan penyakit menular (P2M).
2. Bagi Masyarakat
Sebagai dasar pengetahuan dan pemikiran serta menjadi informasi dalam upaya pencegahan dan pemberantasan penyakit DBD.
3. Bagi Peneliti lain
Menambah pengetahuan dan pengalaman khusus dalam melakukan penelitian ilmiah terhadap beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan kasus DBD.


Download KTI Skripsi Kebidanan Keperawatan Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran No.229

untuk melihat kelengkapan isi KTI Skripsi silahkan KLIK DISINI